CERPEN

 Seorang gadis dengan mahkota soft pink berjalan tergesa-gesa melewati lorong rumah sakit yang semakin siang semakin ramai.

"Jihan, pasien di kamar 238 kembali mengamuk," lapor seorang suster dengan raut wajah yang sedikit pucat. Keringat dingin terlihat jelas mengalir di pelipis gadis yang merupakan pekerja magang itu. "Seminggu ini dia sama sekali tidak mau diberikan pengobatan, " imbuhnya.


Jihan mengerutkan kening atas informasi yang baru diterimanya, apa ada yang salah dengannya seminggu ini. Seingat Jihan, dia nampak akan pulih ketika ia pergi ke Bandung.


Jihan mengangguk, "Aku akan menanganinya, sebaiknya kau tenangkan dirimu dulu," saran Jihan. Jihan kemudian menyuruh salah satu perawat yang kebetulan sedang lewat untuk membawa gadis didikannya untuk beristirahat dan menenangkan diri.


Kemudian lonjakan Energi yang begitu kuat mengejutkan Jihan, ia sontak berlari menuju ruangan dimana Energi itu berasal. Dua menit kemudian, Jihan sudah berdiri di depan pintu bercat krem yang menjulang di depannya. Tangannya sedikit bergetar ketika memegang handle pintu. Setelah mengambil satu napas panjang, Jihan mulai memutarnya perlahan.


"Dia pasti sangat marah" batin Jihan.


Iris gemerlapnya langsung disambut dengan kegelapan, meskipun begitu ia tetap masuk kedalam dan kembali menutup pintu rapat. Suara langkah kakinya bergema di ruangan tersebut, membuat penghuni kamar menyipitkan mata di dalam kegelapan.


"Siapa?"


Audie menggigit bibirnya, "Sendi…," gumamnya rendah.


Telinga tajam Sendi bisa menangkap suara feminim yang begitu dibencinya sekaligus dirindukannya. Kemudian langkah kaki itu menjauh dari tempatnya sekarang, dan Sendi menggeram kesal ketika cahaya memasuki matanya melalui jendela yang dibuka oleh Jihan.


"Apa yang kau lakukan, bodoh!" desisnya rendah. Mencoba membuat Jihan takut dengan silau mematikan yang ditunjukan pada gadis itu.


Namun, Jihan hanya membalasnya dengan tersenyum. "Sudah saatnya kau keluar dari cangkang mengerikan mu, Sendi" balasnya tanpa gentar.


Sendi hanya mendengus, lalu menguburkan dirinya di dalam selimut. Melihat hal itu, Jihan langsung menghampiri ranjang pasien dan duduk di kursi yang terletak di sampingnya.


"Sendi," panggil Jihan.


"…"


"Sen~" panggilnya lagi.


Masih tidak ada respon.


Jihan mendesah, "Maafkan aku," ulangnya lagi.


Sendi menggeram, "Dasar menyebalkan," gumamnya dari balik selimut.


Jihan mendesah, ia mencoba membongkar selimut yang membalut tubuh Sendi. Tentu saja Sendi melawan, namun kalah oleh kekuatan monster Jihan.


"Kau baik-baik saja?" tanya Jihan menatap mata onyx Sendi.


Sendi mendengus dan mengubah posisinya memunggungi Jihan. Jujur saja, Sendi kesal. Bagaimana bisa Jihan bertanya apakah dia baik-baik saja saat kekasihnya itu bisa melihat dengan jelas kalau dia tidak baik-baik saja.


"Bodoh!"


Jihan mengejang, ini sudah yang kedua kalinya dalam beberapa menit Sendi memanggilnya bodoh.


"Sendi Antoni!" Jihan mulai kesal, "ada apa denganmu, bodoh?!"


"Pikirkan saja!"


Jihan mendesah lelah, lelah fisik dan emosi. Baru pagi ini ia kembali dari bertugas dari Bandung dan langsung pergi ke rumah sakit ketika tidak menemukan kekasihnya itu di mansion miliknya.


"Sendi," lirih Jihan mencoba untuk membujuk Sendi agar tidak ngambek lagi. "Kau seperti anak kecil, bodoh!" desisnya kemudian.


"…"


Karena tidak tahu lagi bagaimana harus membujuk Sendi, akhirnya Jihan memilih untuk melakukan cara terakhir. Dengan perlahan Jihan naik ke ranjang dan merebahkan diri di samping ruang yang tersisa dari tempat tidur. Jemari lentiknya membelai lembut pipi Sendi dari belakang. Ketika melihat kekasihnya itu tersentak, Jihan menyeringai.


Sendi yang merasakan Jihan sudah berbaring sepertinya menyeringai tipis. "Kena kau," batinnya puas. Dan saat dirasakannya lengan Jihan melingkar di pinggangnya, seringai Sendi semakin tumbuh.


Jihan mendesah, mengeratkan pelukannya pada pinggang Sendi. Kepala merah mudanya ia sandarkan di punggung lebar kekasihnya itu, berharap Sendi berhenti bersikap menyebalkan seperti ini. "Sendi, maafkan aku," pintanya lirih.


Sendi masih mengabaikan.


Jihan mengambil napas, "Aku akan melakukan apa saja untukmu," ujarnya kemudian.


Dan kata-kata inilah yang ditunggu-tunggu Sendi. dalam sekejap, ia sudah berbalik jadi berhadapan dengan Jihan.


"Kyaa…" Jihan kaget dan memelototi Sendi yang tengah menyeringai puas di kepadanya.


"Kau harus memegang kata-katamu itu Jihan."


Jihan mengangguk pasrah, kalau Sendi sudah begini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Apa yang harus kulakukan, jangan yang aneh-aneh," kata Jihan.


"Hmm," balas Sendi. Ia kemudian pindah dan berbaring miring. "Seminggu ini aku insomnia terus, kau harus menemaniku tidur seharian," titah Sendi.


Jihan hanya pasrah ketika Sendi menarik tubuhnya, hembusan hangat yang menerpa telinganya yang membuatnya sedikit merinding.


"Minggu depan kita menikah."


Suara berat Sendi sontak membuat Jihan tersentak. Ketika dirinya ingin meminta penjelasan lebih lanjut, ternyata Sendi sudah tertidur dengan seringai tipis yang masih nampak di bibir tipisnya.


"Tidak elit sekali," gerutu Jihan mengomentari cara lamaran Sendi.


Karena lelah juga, Jihan memilih untuk memejamkan mata bersama Sendi. dan tidak sampai lima menit, gadis itu telah tertidur dalam dekapan posesif kekasihnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI